Romantis dan Manisnya Film 'Winter in Tokyo'



Sebenarnya aku lagi males nulis review *huhu*, tapi berhubung ini aku baru aja nonton Winter in Tokyo, jadi... rasanya aku perlu mengungkapkan beberapa hal setelah aku menontonnya. Masalahnya kalau aku tulis besok-besok keburu malesnya tambah parah.

Jadi guys, aku baru aja nonton film Winter in Tokyo  *iya lin, kamu kan baru aja ngomong*

Ehm.

Nah, dan kenapa aku bela-belain nonton filmnya?

Karena aku cinta mati sama novelnya.

Karena Winter in Tokyo merupakan sebuah 'sejarah' buat aku. Dan karena Winter in Tokyo juga, preferensi hobiku jadi berubah dan ketauan kemana arahnya.

Konyol nggaksih kalo sebuah novel bisa menjadi berarti bagi seseorang?

Karena aku merasakannya demikian.

Anyway, sebelum aku review ke filmnya, maafkan kalau aku pingin cerita banyak betapa novel ini berarti untuk aku. 


Mungkin banyak orang yang tahu bahwa Winter in Tokyo ini merupakan satu dari rangkaian 4 season, buku ketiga, dari Ilana Tan, yang saat ini sedang booming banget. Dia selalu berada di deretan terpopuler, dan udah nggak tau deh aku udah masuk cetakan ke berapa.

Dan aku, udah tau buku ini sekitar... emm... 7 tahun yang lalu?
Kalo nggak salah aku itu baru kelas 3 SMP atau 1 SMA, aku lupa. Yang pasti novel Ilana Tan ini aku tau bukunya ketika masih cetakan kedua, atau ketiga. Aku lupa juga.

Saat itu aku bukan orang yang addicted banget sama novel, bacaanku masih berupa komik-komik rental. Kalau pingin banget baca novel, aku juga pinjem rental, nggak pernah ada niat untuk beli novelnya. Tapi entah kenapa, setiap aku ke togamas, aku nggak pernah berhenti nengok-nengok ke novel ini.

Suka banget sama sampulnya. Warna biru-putih, paduan favoritku, tenang, sejuk, dingin. Ugh, suka banget deh. Tapi itu lewat-lewat aja, sampai suatu hari akhirnya aku nggak tahan dan baca aja deh itu sinopsis di belakangnya. Setelah itu, ah-ha! I just felt I need to buy this one!

Jadi aku membelinya.

versi novel

Dan itu kali pertama aku kenal dengan metropop. Kali pertama aku kenal dengan Ilana Tan, dan kali pertama aku memiliki seorang penulis favorit. Cerita di novel tersebut untuk pertama kalinya terasa berbeda dengan semua teenlit yang pernah kubaca. Gaya bahasanya yang terjemahan, latar belakangnya di tokyo, dialog-dialognya, terutama kisah antara kedua tokohnya itu, bikin aku terkesima, sekaligus ketagihan. Lalu sejak itu, aku nggak pernah absen buat baca buku Ilana Tan. Dan lagi, saat itupun belum setenar sekarang, masih awal-awal dia terkenalah pokoknya. Kecuali emang udah para pecinta baca buku, karena orang yang nggak suka baca buku mungkin belum benar-benar mengenal. Karena aku aja nggak nyangka kalau ternyata waktu sudah berlalu selama ini dan novel ini masih terkenal, aku bersyukur karena bisa mengenal tulisan dari Ilana Tan.

So you know why it's really important for me, this book make me want to grab my wish :) 

Untuk buku-buku Ilana Tan sendiri, kalo disuruh memilih dari ke 4 buku, kebanyakan favoritnya adalah Autumn in Paris, novel Ilana Tan yang aku hindari mulu saking nggak mau baca, tapi akhirnya tetep aku baca karena 'Ilana Tan'nya sendiri. Cerita di Autumn in Paris emang tragis abis, jadi buat orang yang suka sama novel-novel yang  hype ya cerita itu cocok banget deh buat mereka. Tapi buat aku yang hopeless romantic, yang HEA sejati, yang nggak suka dibikin sedih di akhir, hohoho, Winter In Tokyo tetap nomor satu, dan itu nggak pernah berubah walaupun semua novel Ilana Tan akhirnya sudah selesai aku baca.

Dulu aku pernah membayangkan 'coba buku ini difilmin ya', 'kazuto itu bagi ilana tan kayak gimana ya, keiko kayak gimana ya', 'ada nggak ya yang mau  bikin filmnya? secara aku kan nggak bakal bisa bikin ' *berdoa dalam hati berharap siapa aja ada yang mikir kayak aku dan mau bikin filmnya*, 'plis kalo ada yang difilmin buku ini aja plis' *dan yang difilmin Sunshine Becomes You*

Namanya juga angan-angan, lebih banyak nggak kejadiannya daripada kejadiannya.

Jadi, kalian juga pasti tahu betapa pentingnya buat aku ketika tahu bahwa Winter in Tokyo akhirnya di film-kan.

It's something I never Imagine before.

Gengs, aku bahkan bukan penulisnya tapi aku begitu excited waktu denger kabar itu. Rasanya udah 'klep' banget sama novelnya. 

7 tahun keberadaan novel ini di hatiku nggak pernah tergeser dan sekarang ada orang diluar sana yang mau bikin filmnya????

Ya.

Jadi aku nggak sabar bangetttt-nget-nget-nget hohohohohohohohohohoho.

Waktu kabarnya muncul, rasanya lama banget nunggu siapa aja yang main,


waktu pemainnya muncul udah teriak-teriak sendiri *Ini merekaaaaaaa, si kazuto dan keiko*. Dan buat aku face- mereka udah mewakilkan banget deh. Karena aku kalo disuruh casting artis juga kemungkinannya berapa sih dapat yang pas?

Dan foto-foto syuting mereka.. *jadi ini nggak bohongan? Bener ada filmnya?*

Trus akhirnya trailernya *Gawt, I need to watched itttt!!!!!!! - atur jadwal nonton*

Dan karena aku udah nonton filmnyaaaaa... Jadi mari kita masuk ke review *maaf ya lama*

Winter in Tokyo

Satu hal yang nggak akan pernah lepas untuk orang-orang yang menonton film setelah membaca novelnya adalah: Membandingkan.

Apalagi kalau novel itu adalah novel yang memiliki nilai lebih dari isinya yang bagus, kayak aku.



Niatku pertama ketika memutuskan menonton film ini bukan untuk 'menonton'. Aku selama ini penasaran seperti apa visual dari 'kazuto' dan 'keiko'. Walaupun selama ini aku punya gambaran sendiri tentang mereka, tapi aku pingin tahu siapa yang bisa membuat karakter ini menjadi sesuatu yang 'hidup'. Terutama aku penasaran bagaimana cara si sutradara menafsirkan semua keunikan dari cara bercerita Ilana Tan ke dalam sebuah film.

Aku nggak akan panjang lebar jelasin dimana bedanya, haha, bisa-bisa aku malah bikin skripsi *yang aku kayaknya bakal tertarik kalau judul ini bisa diangkat jadi skripsi*. Jadi aku akan overview secara keseluruhan, secara subjektif dan menurut pendapat aku, seperti biasa.

Sebelum aku nonton film ini, aku nggak naruh ekspektasi apa-apa, jujur. Film adaptasi jarang ada yang lebih bagus dari novelnya, terutama kalau itu genre romance. Biasanya deskripsi dan suasa di novel tidak tergambarkan ketika di filmkan, jadi aku nggak berharap banyak bakal merasakan hal-hal yang sama dengan yang ada di novelnya. Kedua, karena aku adalah anak jurusan Televisi dan Film, dan belajar tentang apa aja yang terjadi di belakang layar, aku tahu betapa beratnya membuat film. Apa saja yang harus dikorbankan oleh para pekerja di baliknya, apalagi jika itu merupakan sebuah film adaptasi. Itulah kenapa, sejak aku masuk jurusan ini aku menjadi lebih maklum ketika melihat ada degradasi dari film yang diadaptasi, terutama secara emosi. Membuat film jelas berbeda dengan menulis buku. Orang-orang yang terlibat di dalam film tidak bekerja secara individual seperti penulis buku, melainkan dalam bentuk kelompok yang harus saling bahu membahu dan kerjasama yang kuat agar apa yang dikerjakan menjadi sebuah hasil yang maksimal. Mungkin banyak orang yang nggak peduli, yah, kalau aku disuruh jadi penonton juga aku paling nggak peduli, tapi disini, aku akan berpendapat sesuai pendapatku, jadi maaf kalo subjektif banget ya.

Pertama tentang film ini adalah:

WOW!! Artistiknyaaaa!!!

Mungkin nggak banyak referensiku untuk film-film Indonesia yang berlatar di luar negeri, tapi aku suka banget sama film Winter in Tokyo ini karena bagi aku, secara visual, lokasi, tempat tinggal, furniture yang digunakan semuanya sangat sempurna. Ketika aku membaca novelnya, aku membayangkan secara umum, tidak mendetail. Aku membayangkan kamar kazuto, tapi tidak menaruh perhatian bagaimana letak kursinya, letak meja, letak kasur, letak laptop, dan lain-lain,kecuali jika itu adalah sesuatu yang penting seperti sandal hello kitty Keiko, nah itu aku tahu. Atau dimana Kazuto jatuh cinta dengan keiko sehingga ia memotret foto Keiko. Aku tahu bahwa di suatu tempat keiko sedang membaca, mungkin café, tapi aku tidak tahu dimana Kazuto berdiri, bagaimana keadaan sekitarnya. Film ini, jelas membantuku memvisualkan semua yang tidak tergambarkan dengan jelas di kepalaku. Aku serasa di ajak keliling Jepang, diajak jalan-jalan, dan semuanya memang sangaaat Jepang sekali. Oya, wardrobenya, yaampuuuun suka bangeeetttt. Rasanya kayak nonton film Jepang, dan menurutku ini bahkan jauh lebih baik. Semuanya dipikirkan dengan detail terutama latar untuk visualnya itu sendiri. I give it full stars. Mataku nggak bosen banget nonton film ini, rasanya menyenangkan.. Aku suka banget terutama karena winter in Tokyo itu menceritakan latar cerita ini, jadi… berasa di tokyo banget deh *lah, emang iya linnn*


Berikutnya! Adalah warna dari film ini.

Warnanya, ugh, romantis bangetttt.

Setuju nggak sih kalo keromantisan dari film ini tuh cukup kuat ditampilkan dari warna filmnya. Warnanya lembut, hangat, dan halus, rasanya mewakilkan banget isi hati Ishida Keiko dan setiap kali ia bertemu dengan Kazuto. Juga mewakilkan banget setiap tindakan atau narasi yang diucapkan oleh Keiko. I love the color so much XDXDXD mungkin sekitar 40% film ini keromantisannya berhasil dibangun secara visual. Dan itu sangat penting karena ini ‘film’ bukan ‘novel’. Deskripsi harus berhasil dijelaskan lewat visual, bukan lewat kalimat. Yah, walaupun film ini menggunakan banyak narasi. Hey, novelnya 320an halaman men, dan bahkan 103 menit nggak cukup untuk menjelaskan keseluruhan isi novel tersebut *aku akan singgung nanti*. Aku baca novelnya sekitar emm… 8 jam? Dan filmnya sekitar 1,5 jam. Harus pinter-pinter dipadetin nggak tuh?

*maaf, subjektif akut ya*


Ketiga!!!

Tokohnya sesuai bangett.
Kata temenku Ilana Tan sendiri ikut turun tangan ya milih tokohnya?
I’m so agree with her. Lagian dia penulisnya, saya sebagai pembaca mendukung sepenuhnya apa yang ada dikepala Ilana. Hahaha.

Jadi, film ini diperanin sama Pamela Bowie, Dion Wiyoko, dan Morgan Oey.

Waktu Sunshine Becomes You muncul, aku emang nggak ngikutin filmnya, karena yah… mungkin karena novel favoritku adalah Winter in Tokyo, random answer. Pokoknya, aku nggak tahu yang di Sunshine Becomes You pemeran ceweknya sesuai dengan di novel enggak. Tapi disini, I should say. Pamela Bowie was sooooo Keiko.

Dulu waktu baca novelnya, bayanganku tentang Keiko persis seperti apa yang disampulnya. Kesan agak pekerja, rambut panjang agak ikal, hitam, wajah yang anggun dan sopan. Sedangkan tokoh Kazuto di kepalaku juga nggak jauh sama yang ada di cover, rambutnya agak sedikit berantakan dan memberikan kesan kekanak-kanakan, wajahnya biasa aja tapi dia memiliki kekhasan yang nggak bikin lupa sama wajahnya, dan agak nakal dari karakter wajahnya.

Agak berbeda dengan yang ada di film, tetapi nggak ada yang jadi masalah.
Film Winter in Tokyo merupakan adaptasi dari kepalanya si Sutradara. Dan aku sepenuhnya yakin, bahwa setiap pembaca memiliki tokohnya sendiri-sendiri. Aku cukup menghargai itu, dan aku menikmatinya dalam film ini.


Aku menikmati karakter keiko dan kazuto yang muncul dari kepala si sutradara, Fajar Bustomi, dan setelah menonton film ini, Pamela Bowie berhasil menjadi Keiko-ku. Aku tahu bahwa sangat sulit untuk mengadaptasi karakter, apalagi jika karakter itu berbeda-beda di setiap pembaca, tapi Pamela Bowie menunjukkan bahwa ia memerankan karakter Keiko, sebisa mungkin seperti Keiko dalam bukunya. Make up dan wardrobe udah mendukung banget deh. Keiko disini memiliki karakter yang lucu, imajinatif, ceria, bersemangat, menggebu-gebu, tapi sekaligus rapuh terhadap perasaannya sendiri. Terhadap perasaannya pada Kazuto karena itu membuatnya melupakan cinta pertamanya, Akira, atau perasaan dia terhadap Kazuto yang pernah mencintai Yuri. Dan ya, Yuri jauh lebih cantik, lebih tinggi, lebih elegan, lebih menjadi pujaan para lelaki. Tapi buat aku, Keiko jauh lebih manis. Haha, lucu juga, itu kesan yang aku dapat juga lho ketika membaca novelnya. Aku bahkan nggak tau wajah keiko di novel kayak apa, tapi aku tahu semanis apa dia.  Keiko (di film atau novel) adalah karakter yang sederhana, menikmati hidup, sedikit kekanak-kanakan dank eras kepala, tapi manis. Dan aku mendapati itu dalam Keiko yang diperankan oleh Pamela Bowie.

Lalu ada si Kazuto, yang diperankan oleh Dion Wiyoko. Awal lihat dia di poster, aku agak takut kalau ia tidak sesuai dengan kazuto bayanganku, dan memang, ada beberapa sifat yang agak berbeda antara dia dan kazuto yang ada di kepalaku. Hanya saja, sekarang setelah menonton filmnya, aku nggak punya siapapun yang bisa menggantikan Dion Wiyoko sebagai Kazuto di kepalaku. So, itu sudah cukup untuk membuktikan kan seberapa baik Dion ini memerankan Kazuto?

Kazuto di film memiliki karakter yang manly, tapi juga lucu, manis, ramah, agak kekanakan juga, dan lucu, dan manis *udah disebutin liiinnn*, ya, pokoknya dia sesuai dengan karakter yang ia mainkan di film dan sesuai dengan face-nya dia juga. Jadi secara natural sifatnya dia sesuai dengan ‘dia’. *maaf random banget yaa ngomongnya*. Tapiiiii yang bikin aku suka banget sama kazuto disini adalah, caranya jatuh cinta kepada Keiko. Tatapannya, perhatiannya, rasa cemburunya, bikin kyaaaaa gitu deh. Sama-sama bikin melting kayak di novelnya walaupun dengan cara yang berbeda. Jadi aku suka banget. Oya, masih ada Akira yang diperankan Morgan ya. Fyuh, secara aku justru nggak terlalu memperhatikan Akira di novel, karena aku bukan penggemar orang ketiga sehingga cenderung mengabaikannya, Akira di film justru membuat cerita menjadi menyenangkan. Dia ada disamping keiko ketika Keiko sedang membutuhkan teman, dan akira di film membuatku tidak mampu membencinya. Haha, berbeda dengan ketika aku membaca novelnya, karena aku agak sedikit males ngikutin Akira. Keduanya sama-sama kuat, akira di novel dan di film. Di novel karena ia membuat aku merasa semakin intens dengan konfliknya, di film karena ia membuat suasana menjadi tidak begitu menyedihkan dan suram.


Nah, dan akhirnya teman-teman, kita masuk ke alur.
FULL SPOILER!!
Oke, aku nggak akan banyak ngomong tentang alur karena jelas secara alur ada banyak yang dirombak, dan aku udah bilang di awal kalau aku harus breakdown, bisa-bisa aku bikin skripsi *jadi mending nunggu sampe aku bikin skripsi aja ya hahaha*, tapi secara keseluruhan film ini menceritakan garis besar yang ingin disampaikan Ilana Tan dalam bukunya.

  • Hubungan antara masa lalu Keiko dengan Akira dan Kazuto
  • Hubungan Kazuto dengan Akira
  • Hubungan Kazuto dengan Yuri

Dari segi motif, beberapa motif yang tetap dipertahankan, dan syukurlah tetap dipertahankan karena bagiku penting:

  • Foto-foto yang dikumpulkan Kazuto
  • Sandal Keiko
  • Kalung Keiko

Kalau baru menonton filmnya dan kenapa bagiku itu penting, silahkan membaca bukunya dan kalian akan tahu kenapa bagian itu penting untuk dimunculkan.

Kalau memang ada yang kurang dari film ini, jelas kurang panjang. Hahahaha, tapi harus sadar diri juga ya aku sebagai penonton, karena film ini dibatasi durasi. Walaupun, yah, kalau boleh jujur, setelah setengah film lebih adaptasi film ini cukup memuaskan dan meletakkan motif-motif ditempat-tempat yang tidak terduga karena memang harus sepadat mungkin tapi tetap tersampaikan, aku agak berharap akan terus begitu hingga akhir, tapi ya apa mau dikata, positif thinking aja, mungkin memang ini keputusan terbaik untuk menghilangkan adegan yang paling ingin aku munculkan. Ehm, nggak apa kali ya aku sebutkan apa aja:

  • Ketakutan Keiko akan gelap memiliki alasan, karena ia trauma, dia dulu pernah hampir diperkosa, dan itu memunculkan motif-motif dalam novelnya seperti adegan ketika Kazuto mengagetkan Keiko berkali-kali karena dikira penguntit dan itu berguna untuk memperkuat chemistry keduanya menjadi lebih dalam, karena Kazuto di novel yang lupa ingatan begitu ingin mengenal Keiko lagi hingga ia perlu tahu masa lalu Keiko dan berharap hanya ia yang tahu segalanya tentang Keiko. (tapi motif ini sebenarnya di filmnya udah disebutkan ketika mereka makan berempat sih. Mungkin pertimbangannya karena tidak diperlukan pengulangan kali ya)
  • Di novel, cerita berakhir ketika Kazuto sembuh dan bisa mengingat lagi semuanya, endingnya ada ketika Kazuto akhirnya bisa membuka pameran foto lagi sebagai symbol bahwa ia kini memiliki kehidupan baru bersama Keiko. Oya, dan adegan akhirnya Kazuto ingat lagi kan karena dipukulin, kalo baca novelnya buat aku itu klimaks banget, dan bikin aku nangis, soalnya pemukulan kedua itu si Keiko dan Kazuto ceritanya baikan tapi ternyata dipukulin lagi dan keduanya berusaha mati-matian buat saling melindungi, dan ketakutan mereka itu yang bikin hatiku ikut pedih hiks, jadi waktu adegan di rumah sakit setelah klimaks tersebut, entah kenapa buat aku jadi penting banget soalnya itu jadi adegan favoritku. (Sekali lagi, mungkin pertimbangan ‘pengulangan’ karena adegan kazuto dipukulin udah ada, dan nggak perlu memperbanyak adegan di rumah sakit karena bisa jadi, ketika mereka ketemu lagi sudah menceritakan bahwa Kazuto jatuh cinta lagi pada Keiko. Walaupun aku merindukan dan penasaran gimana Kazuto kalo ngomong bahwa dia akan jatuh cinta sama Keiko lagi walaupun dia lupa ingatan berkali-kali *that's so priceless forme, Kazuto's felling in that moment*)
  • Sebenarnya yang ini nggak terlalu bermasalah sih buat aku pribadi kalo dihilangkan, yaitu tentang orang yang melukai Kazuto. Kalau di novel sih diceritakan sampai ketangkep dan ada intrik antara kazuto dan akira karena masalah ini, tapi di film hal tersebut tidak diceritakan lagi (dan bukan menjadi fokus jadi memang nggak masalah sih kalo nggak diceritain, mungkin karena aku jug abaca filmnya dan masalah itu bikin halaman novelnya lebih panjang jadi keberadaan masalah tersebut cukup terasa)

Akhirnya, selesai juga aku menulis review subjektifku tentang film ini karena aku terpengaruh dengan latar belakangku sendiri wkwkkwk. Aku tahu pasti susah menjadikan sebuah novel menjadi sebuah naskah dengan emosi yang sama, jadi aku sangat menghargai semua crew yang telah merealisasikan novel ini menjadi film. Anyway, aku subjektif karena aku menonton film ini bukan untuk hiburan, melainkan karena aku sudah membaca novelnya dan penasaran dengan visualnya, jadi jelas aku akan bilang kalau aku tahu seluruh cerita film ini, jadi aku nggak tau apakah orang lain yang menontonnya, terutama yang belum baca novelnya, menganggap film ini bagus atau tidak. Buat aku, untuk ukuran adaptasi, film ini berhasil karena selama aku nonton filmnya, selain alur dari novelnya yang kuingat, aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak kembali ke novel dan fokus ke film. Aku terbawa emosi dari pemainnya, aku ikut cengar-cengir sendiri, dan lagi, ini film romance. Mainstream emang, tapi sangat sulit untuk membuatnya agar tidak terdengar  cheesy dan menye-menye. Film Winter in Tokyo menurutku film yang manis, dan jelas romantis, dan menurutku film ini nggak kalah sama film romantis yang asli dari Jepang. Terlebih adekku yang nggak baca novelnya bilang ‘Kayaknya ini film Indonesia romantis pertama yang menurut aku paling bagus’, 'mbak kok aku jadi keingetan ya sama filmnya'. Walaupun dalam hati aku berkata bahwa ada film ‘habibie ainun’ yang juga romantis, tapi aku setuju sih. Film Winter in Tokyo merupakan film yang ringan, amat sangat ringan, karena ia fokus ke kisah cinta kedua tokohnya tanpa ada embel-embel masalah lain yang diangkat (politik, keluarga, etnis, agama, dll), dan untuk membuat film tersebut tetap romantis tanpa banyak kata-kata yang cheesy jelas sulit banget. Jadi kalo aku disuruh merekomendasikan film Indonesia romantis, aku akan merekomendasikan film ini. Terutama karena film ini tidak melulu dibangun dengan plotnya saja, tetapi visualisasi dan penokohannya membuat kekurangan dari film ini tertutupi.

ups maaf nyempil. Tapi beruntung deh bisa foto barang abang kazuto dan akira. For me, it's like i took a photo with kazuto and akira, not with Morgan and Dion. Why am I feeling like that? It's just simply that they got into the character themselves and I forgot they just actor XD.

Huff.. Rasanya aku masih pingin ngomong panjang tentang film ini, tapi akan kuakhiri disini daripada aku melakukan banyak pengulangan seperti ‘menurutku film ini baguuuss’. Aku pribadi menyukainya, jadi kuharap teman-teman yang ingin menonton juga akan menyukainya.






Salam, Adlina Haezah

Komentar